Oleh: Abdul Asep[1]
I. LATAR BELAKANG
Setiap makhluk diciptakan saling berpasangan, begitu juga manusia. Jika pada makhluk lain untuk berpasangan tidak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia. Pada manusia terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk hidup bersama pasangan, baik itu peraturan agama, adat-istiadat maupun sosial kemasyarakatan.[2]
Dalam hal dan tujuan untuk hidup berpasangan inilah istilah perkawinan atau pernikahan disebutkan. Perkawinan merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa manusia, menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama.[3]Penyatuan antara dua manusia menjadi sakral dan agung oleh sebab adanya tata cara khusus ini, setiap agama memiliki tata cara peraturan tersendiri. Kesemuanya mengacu pada satu hal yaitu bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mulia, mempunyai karunia akal budi sehingga dalam banyak perilaku kehidupannya tidak sama dengan makhluk lain seperti halnya binatang.
Perkawinan pertama-tama harus dipahami sebagai ikhtiar manusia untuk menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bertanggungjawab. Dari sini, diharapkan akan terjalin hubungan kasih sayang, cinta, dan tanggungjawab untuk membentuk sebuah masyarakat kecil yang akan meneruskan perjalanan peradaban manusia.[4]
Sebagaimana dipahami dari teks-teks suci Islam, Al-Qur’an dan as-sunnah (hadis Nabi), perkawinan juga dimaksudkan sebagai usaha menyelamatkan dan mengamankan alat-alat kelamin dari berbagai bentuk penyimpangan seksual yang pada gilirannya dapat merusak fungsi-fungsi reproduksi. Jadi, perkawinan merupakan sarana atau wahana bagi perkembangbiakan manusia seecara sehat dalam arti yang seluas-luasnya, baik menyangkut fisik, psikis, mental dan spiritual, serta sosial.[5]
Seiring dengan perkembangan zaman, semakin kompleks pula persoalan yang timbul di masyarakat baik yang menyangkut masalah social terlebih menyangkut agama atau kepercayaan, salah satu yang sering diperdebatkan para ulama adalah mengenai pernikahan beda agam. Dalam diskusi kali ini akan mencoba menggali tentang pernikahan beda agama dalam perspektif al-Qur'an.
II. PEMBAHASAN
Pernikahan beda agama bukanlah hal baru, selalu ada dalam setiap sejarah, hal ini sering kali menjadi kontoversi atau polemic dikalangan masyarakat. Hidup berpasang-pasangan merupakan fitrah bagi setiap umat manusia, hal ini juga dijelaskan dalam firman Allah SWT surat Al-Dzariyat (51) ayat 49 dan QS. Yasin ayat 36:
Artinya: “Tiap-tiap sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan (jantan dan betina), agar kamu sekalian mengingat akan kebesaran Allah”. (QS. Al-Dzariyat (51): 49). Dan QS. Yasin ayat 36: “Maha suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan semuanya, di antara apa-apa yang ditumbuhkan bumi dan dari mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui”. QS. Yasin: 36.
A. Pengertian Nikah (Perkawinan)
Perkawinan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).[6]Sedangkan menurut istilah hukum Islam, perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.[7]
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.[8]
Pengertian pernikahan ini tidak beda jauh dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin anatara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[9]
B. Pernikahan (Perkawinan) Beda Agama Dalam Perspektif Al-Qur'an
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang perkawinan beda agama. Sebagian ulama membolehkan, tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkan.
Dalam hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an maupun hadits banyak menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat tiga ayat mengenai perkawinan beda agama (muslim dengan non-muslim). Pertama, seperti dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 221 yang melarang dengan jelas menikahi wanita-wanita musyrik dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu beriman. Allah berfirman:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³•B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í`ÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³•B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221).
Asbab al-nuzul dari surat ini ialah ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Mursyid al-Ghanawi akan mengawini seorang wanita musyrik yang cantik dan terpandang dengan memohon izin terlebih dahulu kepada Rasulullah sampai dua kali, setelah kedua kali Rasulullah berdoa dan turunlah ayat ini.
Dari ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang wanita maupun laki-laki muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang musyrik. Musyrik yang dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar, mereka semua itu haram untuk dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki maupun perempuan).
Kedua, dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir. Teks ayat tersebut:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? ’n<Î) Í‘$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts† £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”. (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Walaupun teks ayat tersebut menyebutkan wanita beriman sebelumnya telah berkumpul dengan suaminya yang kafir dan tetapi kemudian berpaling darinya, lalu hijrah ke dalam kaum muslim. Tetapi secara tersirat jelas juga bahwa wanita-wanita yang beriman (kuat imannya) itu haram untuk dinikahi oleh laki-laki kafir musyrik, yang menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya “orang kafir” yang dimaksud dalam ayat ini ialah kafir Makkah. Dan kalimat sepenggal dari potongan ayat di atas menguatkan lagi wanita beriman yang keimanannya telah kuat haram dinikahi oleh laki-laki kafir.
Ketiga, terdapat dalam surat al-Maidah: 5, yang kandungan ayatnya berisi ketentuan tentang diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, ayat tersebut berbunyi:
tPöqu‹ø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh‹©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm öä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s%
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu”
Dari ayat ini memang jelas bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab. Dan setelah turunnya ayat ini, banyak sebagian sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, seperti Usman bin Affan kawin dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan Yahudi di Madyan, bahkan Rasulullah saw pun pernah menikahi perempuan ahli kitab yaitu Nabi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia yang Yahudi.
Namun masalah dibolehkannya menikah dengan wanita ahli kitab ini terdapat masalah pokok, yaitu: yang pertama siapakah yang dimaksud ahli kitab dalam ayat tersebut ?. Kedua, kalau dikaitkan dengan konteks sekarang, siapa ahli kitab dimaksud ?
Sebelumnya terlebih dahulu kita lihat definisi ulama mengenai ahli kitab ini. Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Budha, Konghucu, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai ahli kitab.
Namun kiranya ada pendapat lain yang saya rasa lebih mewakili, yang dimaksud dengan ahli kitab ini ialah seorang yang dapat membuktikan bahwa agamanya mempunyai kitab yang diturunkan pada seorang Rasul dari keluarga Ibrahim dan agama itu ialah Islam, Yahudi, Nasrani serta suhuf-suhuf kepada Nabi/Rasul tertentu. Maka yang dimaksud ahli kitab ialah mereka yang menganut keyakinan: 1) Iman dan percaya kepada Allah SWT, 2) Iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an diturunkan (sebelum Muhammad saw), 3) Iman dan percaya kepada rasul-rasul Allah SWT.
Jadi kita dapat sedikit menarik kesimpulan bahwa ahli kitab itu adalah orang-orang yang menerima dan mempercayai kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw (al-Qur’an) itu ada. Sehingga ini sesuai dengan konsep pernikahan yang dilakukan sahabat yang pernah nikah dengan wanita ahli kitab, karena memang di zaman itu ahli kitab itu masih benar-benar ahli kitab yang hidup sebelum (dekat) al-Qur’an diturunkan. Sedangkan orang-orang (Yahudi, Nasrani) sekarang tidaklah dapat disebut sebagai ahli kitab. Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi ahli kitab (kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang sangat sedikit sekali). Terlebih sekarang kitab mereka perjanjian lama dan perjanjian baru sudah banyak terkontaminasi atau dalam bahasa lainnya sudah banyak campur tangan manusia.
C. Pernikahan Beda Agama Dalam Konteks Indonesia
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 yang diberlakukan berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seseorang pria dan wanita karena wanita tersebut tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan antara agama sebagaimana hal ini didasarkan kepada mashlahahdengan tujuan untuk memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, serta keturunan. Para ulama Indonesia sepakat untuk melarang perkawinan beda agama karena kemudharatannya lebih besar daripada manfaat yang ditimbulkannya.
Perkawinan beda agama telah menyebabkan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu banyak yang menganut hukum agama ibunya daripada agama bapaknya. Selain dari itu, dari perkawinan antar agama dapat meresahkan karena hubungan silaturrahim antar keluarga menjadi putus. Oleh karena kemudharatannya lebih besar yang ditimbulkan dari perkawinan antar-agama cukup besar daripada manfaatnya, maka sudah selayaknya ketentuan tersebut dalam pasal 40 KHI Indonesia tetap dipertahankan.
III. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari pemaparan singkat ini, sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa perkawinan beda agama terutama dari perspektif al-Qur'an dapat disimpulkan ada tiga macam kategori yaitu: Pertama, pelarangan secara tegas untuk wanita dan laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir (QS. Al-Baqarah: 221) Kedua, mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki non-muslim (QS. Al-Mumtahanah: 10). Ketigaialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang benar-benar ahli kitab (wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, sangat menghormati dan mengagungkan kitab suci). (QS. al-Maidah: 5).
Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama dalam Islam walaupun dibolehkan dalam kasus yang khusus tapi hendaknya menjadi pilihan terakhir karena berpotensi memiliki resiko sosial yang dapat mengancam keutuhan, keharmonisan dan kesinambungan rumah tangga. Karena, Islam lebih menyukai terjalinnya sebuah pernikahan berdasarkan pada kesamaan iman.
Demikian yang dapat saya sampaikan sebagai pengantar untuk dijadikan bahan diskusi kita bersama. Terimakasih.
[3] M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, Yogyakarta: Hanggar Kreator, 2008, hlm. 1.
[4] Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama Dan Gender, Yogjakarta: LKiS, 2001, hlm. 105.
[7]Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, cet ke-3, hlm 29.
[8]Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hlm. 7.
[9] R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, hlm. 537-538.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar